Kebutuhan Nurani dalam Berbagi

Oleh: Sri Rahayu

Pada hari Rabu yang lalu aku dan keluarga kecilku mudik sebagai ganti mudik di hari Raya Idul Fitri yang tertunda karena PSBB ( Pembatasan Sosial Berskala Besar ) awal pandemi covid-19. Mudik ke tanah kelahiranku, kampung kecil di desa Purwotengah kecamatan Papar kabupaten Kediri. Sekelebat kenangan masa kecilku menari-nari di anganku. Masih lekat dalam ingatan saat masa itu, bagaimana bahagianya dikala 'Paklik' yang kaya raya datang berkunjung di rumah 'simbah'. Mengapa bahagia?

Kebahagiaan ter-visualisasikan dengan jelas manakala mendengar deru mobil Honda Civic sekitar tahun 1979 yang menghamburkan aroma asap yang langka pertanda paklikku tiba. Sosok yang ditunggu terutama aku. Dengan kedatangannya berarti bisa potong rambut gratis bonus uang recehan bergambar orang hutan dua lembar. Bahagia tak terlupakan tanpa bisa melihat rona wajah saat menerima. Tertangkap samar kepuasan  Paklik yang tak aku mengerti saat itu. Hingga tiba saat beliau sekeluarga pulang ke rumahnya di kota Nganjuk, dengan berat hati seraya berdoa semoga segera berkunjung kembali secepatnya. Entah mengapa doa ter-panjatkan tanpa menghiraukan ter-ijabah atau tidak...

Ada harapan yang tak ter-gambarkan secara jelas bahwa sesungguhnya hadirnya berarti memberi tambahan uang jajan ekstra yang dulu sangat terbatas dan nyaris tak ada. Yang menjadi catatan kecil hingga kini semoga tak terjadi pada keturunan F1ku, F2ku, F3ku...dan seterusnya. Dan yang terpenting yang bisa aku tangkap nilai berbagi yang memancarkan kebahagiaan bagi yang menerima. Sungguh patut diulang pola pada model kehidupan berbagi saat itu yang tak aku mengerti.

Kini saat aku dewasa dan mampu berbagi,  kuulang kehadiran yang pernah terbingkai indah dalam pengalaman masa kecilku. Ada pembelajaran hidup yang perlu diimplementasikan pada hidup dan peri kehidupan yang berlanjut. Kini baru aku rasa betapa kehadiran yang dirindukan tidak semata karena keberadaan tetapi juga pada nilai-nilai berbagi yang tak banyak memang. Tetapi bisa memberi arti tersendiri bagi sanak famili yang masih terjalin.

Tak banyak memang nominal yang ku semai tanpa berharap untuk menuai. Hanya kehadiranku yang ditunggu sudah cukup berarti bagiku. Lewat berbagi yang tiada arti kulukis ulang buramnya gambarku di angan yang mereka punya. Buramnya karena sempat pudar di kala badai menerpa, tertutup kabut yang membuat kalut. Hingga terlupa cita rasanya.

Betapa nikmat rasa puas yang terpuaskan,  walau ada kesan sombong yang mengiringi tanpa disadari. Takabur?  Tentu tidak. Tetapi Ada kebutuhan nurani yang harus dipenuhi untuk sekedar menggenapi kebutuhan hidup yang diingini. Akan terasa ganjil dan tak jangkep bila belum ter-akomodasikan. Dan dengan tetap berpedoman pada ajaran Al Quran yaitu  surat Al-Baqarah (2) : 215. "Mereka bertanya kepada engkau tentang apa yang mereka infakkan, Jawablah! Apa sahaja harta yang kamu infakkan hendaklah diberikan kepada ibu bapa, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan apa saja kebajikan yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui".

Komentar

  1. Tentu saja anakku...sebagai pembelajaran hidup...

    BalasHapus
  2. Sepanjang berbagi masih terjaga tidak diikuti dengan menyakiti yang diberi, masih terawat dari ibarat tumbuhnya benih pada tumpukan debu di atas batu hitam licin (Jawa: watu item) yang kemudian diterpa derasnya hujan

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer